Pages

Tuesday, February 22, 2011

Antara aku, Allah dan Salib


Nama ku, Grace.

Kata papa dan mamaku, nama itu adalah terjemahan bebas dari nama tiga hurufku: Oen Ai Sien yang artinya rahmat cinta dalam keluarga Oen. (Ehem.. cashingku memang choco-manize ambon ikut mamaku; tapi aku tetap saja blasteran tionghoa dari papaku). Berhubung aturan main dari pemerintah yang melarang penggunaan nama Tionghoa tapi tak melarang nama dari daratanAmerika, jadilah orangtuaku memutuskan agar aku menyandang nama Grace. Rahmat. (entah mengapa orangtuaku ndak terinpirasi untuk pakai nama Jawa-Indonesia; kalau iya, mungkin sekarang aku dipanggil: Rahmawati)

Lalu, apa hubungannya dengan Allah; apalagi dengan salib?

Begini, sejak masuk di Postulat sampai lulus Novisiat, salah satu renunganku dalam kisah Injil tentang Janda yang Miskin, aku selalu mengatakan pada pembimbingku: “Suster, saya masih memberi dari kelebihan saya. Belum dari kekurangan saya; sehingga….” Dst, dsb, dll……

Lalu saya menjalani masa Yuniorat dan berjumpa dengan Teologi Salib di Sekolah Fisafat Dryakara. Pada perjumpaan pertama (saya bolos sesi Pengantar.. ada tugas.. ehem!) saya mulai dengan tema: Penderitaan Dalam Perjanjian Lama.  Tema yang begitu mendengarnya sudah membuat perut jadi lapar! Sudah membahas tentang “penderitaan” dilihat dari konteks jaman kuda bengong melihat besi. Di kepalaku berputar film telenovela 3 babak yang menggambarkan orang-orang berwajah kaku macam di semen;  bicaranya ngeluh dan negative melulu;  harapan digantung seperti jaman sekarang berharap para koruptor bisa diberi “pelatihan” yang pas supaya jadi pribadi yang puas dengan apa yang ada sehingga tidak sibuk raup jatah nasi orang lain. Aduh, lapaaaarrrr ni.

Munculah Pastor Deasy dengan kemeja bercorak batik. Hmmm… cocok juga. Pikirku. Rambutnya yang dibabat habis membuat wajahnya jadi segar. Hmmmm bagus juga. Pikirku. Ndak membayang Pastor Deasy muncul dengan jubah belel dengan rambut gondrong-gimbal-anti gunting.  Ditangannya beliau menenteng tas dan bukan tongkat gembala. Well, baik juga kalau beliau bawa tongkat gembala.... bakal membuat semua yang hadir mengurangi ketegangan karena mau bicara soal: p.e.n.d.e.r.i.t.a.a.n. 

Lalu mulailah pastor Deasy mengulang pertemuan pertama (yang saya tidak hadir itu loh..) bahwa penderitaan adalah sebuah keadaan yang tak terhindarkan. Bahasa kerenya: “malum”. Lalu si malum ini dibandingkan dengan “bonum”, “unum”, “venum” dan “pulchrum” tapi tidak dengan chrysanthemum, tentunya. Beda spesies. Kondisi yang takterhindarkan ini muncul karena ada kehendak, hasrat atau desire. “Kalau tidak ada desire maka manusia tidak merasakan apapun,” singkat kalimat: tanpa kehendak maka tak ada perasaan, tanpa perasaan tak ada peneritaan yang notabene termasuk dalam keluarga perasaan. 

Ok deh!.

Aku menarik napas panjang, duduk sedikit lebih tegak (di depan saya seorang bapak yang cukup tinggi) dan tangan di atas kertas catatan sambil memegang pena merek Sarasa warna hitan yang saya sukai. Saya lirik Sr. Ayda dan Sr. Reta di sebelah kiri saya. Serius bo’!

Pastor Deasy memulai dengan jenis dan pola penderitaan yang dialami bangsa Israel dalam Perjanjian Lama. Bagaimana Allah digambarkan sayang banget sama bangsa Israel (heran.. kok ndak dengan bangsa Indonesia saja yang ramah, lemah lembut dan suka menabung ini ya?). Sebegitu sayangnya Allah pada Israel  sampai-sampai  Allah mengorbankan bangsa lain demi bangsa Israel (phew.. untung bangsa Indonesia ada dibelahan dataran yang berbeda dengan bangsa Israel).  Pastor Deasy mengajukan pernyataan yang membuat perut kosong semakin melompong: bangsa Israel merasa dibela Allah, sementara bangsa lain mengalami kekerasan Allah. (Hmmm… bangsaku tergolong yang ….??) 

Lalu Pastor Deasy semakin membangun profil Allah (wah! Macam para detektif di film Profiller tu) dalam konteks Perjanjian Lama dengan mengungkapkan bawah Allah memang membela Israel, tapi kalau Israel tidak setia: cilaka!!!. Allah digambarkan sedemikian adilnya sampai-sampai Allah rela mendidik bangsa Israel (yang digandrungiNya) dengan mengirimkan segala jenis kesusahan dan penderitaan sebagai usaha Allah mengembalikan Israel. (WOW! Allah pasti lebih capek dari KPK ya?!) Tiba-tiba, Pastor Deasy mengajukan pertanyaan yang membuat perut kosong melompong jadi nyaris bolong. “Apakah anda siap beriman pada Allah yang bersikap dan berkepribadian seperti itu?” Lalu belaiu melanjutkan: “Moga-moga sudah mulai gelisah”. TUINGGGG!!!!

Ternyata Pastor Deasy belum selesai. Baru babak pembuka ni. Beliau melanjutkan dengan: Penderitaan Tanpa Makna. Dengan suara yang dalam, Pastor Deasy menjelaskan sesuatu yang sudah dihayati oleh pada umumnya manusia (tentu termasuk saya) yaitu Hukum Retribusi dan Kebebasan Allah.
Hukum Retribusi paling mudah karena sudah dipelajari sejak lahir. Anak baik dapat hadiah, anak nakal dapat hukuman.  Orang baik masuk surga, orang jahat tinggal di neraka.  Orang rajin akan beruntung sedang orang malas akan buntung. Kembali profil Allah digambarkan sebagai pribadi yang adil 100%.
Hukum yang sudah terima dan dihayati sejak kecil ini mulai dapat counter strike dari kenyataan hidup. Tidak selalu yang malas jadi buntung tuh! Bahkan malas, culas dan beringas happy-happy saja. Sebaliknya, sudah jujur, berani mengungkapkan kebenaran malah tetap jadi miskin bahkan masuk penjara. Sun Tzu, moyangku (hi..hi), pernah berkata: orang yang paling malang di dunia adalah orang baik yang mebawa payung saat hujan. Kenapa? Karena saat hujan turun, datanglah orang jahat yang merebut payungnya itu. (Hiks… sad but true). Terus, Allah ada dimana waktu hujan turun ya?. Mulailah Pastor Deasy menjelaskan Kitab Ayub. Dimana Ayub, si orang super baik itu tetap mendapat penderitaan walau ia tidak melakukan apapun yang dapat membuatnya patut mendapat hukuman.  Allah tampil dalam  pribadi yang bebas. Manusia baik atau manusia jahat tidak ada urusan; bagi Allah yang dapat memberikan penderitaan sesuai dengan kebebasanNya. “Jadi, tidak ada patokan tertentu atau aturan baku” kata Pastor Deasy. Kemudian pastor Deasy kembali mengajukan pertanyaan yang membuat perut kosong-melompong dan nyaris bolong jadi mengong-gong. “Seberapa mau kita mengakui dan membiarkan serta menerima Kebebasan Allah?” Waduh…..

Saya membayangkan Allah. Keren seperti Piere Brosnan. Matang seperti Sean Connery, suka berpetualang macam karakter Indiana Jones. Cerdik, iseng dan doyan main seperti Johny Deep dalam karakter Jack Sparrow dan tentu saja lucu seperti Jacki Chen. Sebuah gagasan sempurna untuk Allah versi saya pribadi. Lalu saya tempelkan kata “Kebebasan Allah: mutlak!” wah! Saya kaget sendiri dengan perubahan perasaan dari romatis-dramatis ke kecut-muncrut!. Hah??!! Siapa sudi? Cetusku. Well… Allah memang baik tapi….
Saat itu pop-up di kepalaku kalimat sakti dari suster Jeane Hartono, pembimbing retret 8 hariku  “Suster, kebebasan bukan segala-galanya” Entah bagaimana kata-katanya seperti membuka kotak kebijaksanaan yang selama ini ditabung oleh para pembimbingku. (Tabungan yang kurang ku hargai dan otomatis jarang ku pakai).
“Maukah kamu memberi?”
“Bagaimana kamu memberi?”
Bayangan berbagai tantangan hidup, terutama sikap perfeksionisku yang ditantang habis-habisan dalam 6 bulan pertama di Jl.Pos membuat aku sadar. Tidak hanya aku belajar lebih dalam pada hidup doa. Tidak saja aku belajar menyeimbangkan hidup doa, komunitas dan karya. Tapi secara berkesinambungan juga mengkoreksi cara pandangku tentang: Allah. Lalu secara alamiah Allah mengundang saya untuk belajar memberi walau tidak punya.  (kok loncat ya??? Saya juga tak tahu…)

Ternyata  Allah mau agar saya sadar bahwa saya sudah dicekoki  dengan cinta kasih versi Perjanjian Baru tetapi masih saja menghayati Perjanjian Lama. Cara pandangku tak berubah, sehingga dalam menghayati hidup dan bertindak saat ini pun saya tidak mengalami perubahan apapun. Motto: “kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit” yang pernah saya genggam mulai kehilangan daya tarik. Kemudahan terutama karena kebebasan  bersifat relative. Kebebasan apalagi yang mendatangkan kemudahan memiliki kesengsaraannya sendiri. Saat saya meletakan kebebasan pada Kebebasan Allah, maka kebebasan pribadi  tidak menjadi segalanya bagiku. Kebebasan Allah jadi segalanya buatku. Dan aku belajar menghayati ketaatan dengan menangkringkan salib yang bebas dari beban emosi. 

Akhir dari topic Kebebasan Allah ditutup dengan penjelasan: Kematian sebagai sebuah titik penting! Ibarat sudah dihajar habis-habis, tiba-tiba Pastor Deasy member peluang untuk hit & run ala Mohamad Ali. “Kata Pemazmur..” ujar Pastor Deasy yang berkelit dengan bawa nama orang lain bahwa Allah perlu menolong manusia untuk keluar dari penderitaan dan dosa. Soalnya, tidak ada orang mati yang bakal memuji Allah; hanya manusia hidup yang memuji Allah. Seolah-olah Allah dibujuk oleh Pemazmur untuk membantu manusia.
Kematian sebagai awal dari kabar Keselamatan inilah yang membuat seseorang seperti diberi jendela untuk tetap hidup walau mendapatkan hajaran dalam hidup. 

Dan ini baru babak pertama dari Pastor Deasy. Selanjutnya beliau mulai dengan Penderitaan Bermakna. Bahwa penderitaan dalam Perjanjian Lama juga bermakna: Memurnikan dan Mematangkan serta Penebusan.
Penderitaan bermakna yang memurnikan dan mematangkan seperti api (Yeh 22:17-22) dan (Yes 48.9-10). Manusia diharapkan sebagai mahluk kesayangan Allah yang  sipa diuji dan dicoba agar semakin murni. (Sir.2.1-5).  Lalu Pastor Deasy melontarkan pertanyaan menggelitik “yang jadi persoalan, sampai kapan pemurnian itu?’ Yahhh… perut kosong melompong nyaris bolong terus mengong-gong itu jadi monyong. Sudah diangkat seperti dibanting lagi. “ya seperti Yesus, sampai akhir hayat!” cetus si Pastor santai. Seolah pertanyaan dan jawaban hanya buat dirinya sendiri dan tidak berdampak apapun buat yang dengar.
Penderitaan bermakna yang berikut adalah penderitaan yang membawa keselamatan dan penebusan.  Penderitaan dari sudut pandang ini, menurut Pastor Deasy, bakal member ruang bagi setiap orang untuk memikul penderitaan sebagai sebuah usaha mendatangkan berkat. “seperti kemartiran,” tegasnya. Dimana kematian juga dipandanga sebagai titik bagian dari proses sebuah kehidupan rohani yang tak berawal dan berakhir.

Lalu, apa hubungannya antara saya, Allah dan salib?
Nah, hubungannya jelas. Allah memberi saya banyak rahmat sesuai dengan nama saya, Grace. Allah membuay saya lebih dalam  mengenaNya sebagai Bapa dari perspektifNya. Dia pun melatih saya untuk lebih sadar dalam memanggul salib dengan caraNya. Alhasil sekarang saya bisa lebih gembira, dan mulai mampu berkata: “suster, Allah Bapa ngajarin saya cara memberi dari ketidakmampuan dan ketidakpunyaan saya loh. Dia memperlihatkan bahwa dDari ketidakberdayaan saya, saya tetap bisa member;  karena Allah yang BEBAS telah mendidik  saya untuk  belajar membiarkan DIA bebas dalam mengatur saya.”
Amin… Amin… Amin…

Aduh Mak! LAPAR ni… 
Semoga next week Pastor Deasy tidak bicara dengan tema yang mendatangkan petaka kelaparan seperti ini.

Jakarta, 22 Feb 2011 PESTA Tahta Suci S.Petrus



0 comments:

Post a Comment

be nice, be wise, be you

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More