Pages

Thursday, January 13, 2011

Kisah Sepotong Kain Kuning

Dengan senyum hangat di bibir, ia mengulurkan tangannya dan mengelusku.
jemarinya yang renta tetap membawa rasa hangat dan nyaman.
tangan yang dulu kuat dan meletakkan ku di sini.
ditempat ini.
di depan balai doa sisi belakang yang jarang dikunjungi
kecuali oleh mereka yang mencari pencerahan atau
yang sedang bertarung dengan kelekatan.
'Sobatku, ini tugas barumu." katamu dulu, penuh semangat.

Waktu berlalu.
setelah sekian musim ia kembali ada disini, bersamaku.
Akhirnya aa pun berdiri. Menghela napas sambil menatap jauh ke langit mendung.
"Sudah begitu lama ya," cetusnya pada butir hujan yang melayang turun seperti dewi kahyangan.
dibiarkannya tiap titik itu jatuh lembut di kulit wajahnya yang berlipat kecoklatan.
Lalu ia menunduk padaku.
"terima kasih," katanya hangat dan berlalu.
langkahnya masih tenang dan lambat. sesuai enam langkah samadi jalan yang sudah berurat akar dalam seluruh jalinan syaraf dan tulangnya.
Aku tersenyum.
Dia semakin tua tapi cintanya tetap muda.
Cintanya pada semua yang hidup dan yang mati menurut ukuran ilmu manusia.
Aku tersenyum dan menikmati masa tuaku juga.
"terima kasih,"bisikku
"terima kasih untuk tetap mengingatku."

****

Tibet. 1980
Bau dupa melayang hangat dalam ruang doa utama.
Banthe Kanthi melalui ruang itu tanpa menoleh. ia tahu tanpa mau tahu.
Sesampainya di pendopo penerima tamu, ia disambut oleh seorang lelaki separuh baya.
mereka saling melempar senyum hangat.
lelaki itu pun bersedekap tangan dan membungkuk takzim "Salam," ujarnya
Banthe Kanthi pun mengangguk lalu mempersilahkan lelaki itu naik ke pendopo.
Tak lama kemudian mereka berdua saling tukar kisah.
dalam suasana teduh dan ramah.
mentari mulai bergerak ke tengah dan lelaki itu pun meninggalkan pendopo
diiringi senyum biksu tua itu.
Sang Bikhsu pun berlalu.

"Bante" bisik seorang samanera (bikhsu muda) menghnetikan langkah bikshu tua itu.
"Kita dapat sumbangan jubah baru," lanjutnya.
Bante Kanthi mengangguk. Melintas wajah lelaki tadi. Banthe berharap semoga usaha lelaki itu dalam memperbaiki karmanya, bisa berlangsung baik dan lancar.
Banthe pun berjalan ke kamarnya yang kecil, sama dengan kamar semua bikshu.
dekat tikar tidurnya ada satu jubah baru.
jubah lamanya sudah diambil dan dipakai untuk yang lain.
"Selamat datang sahabatku," katanya padaku.
itulah kali pertama aku berjumpa dengannya.

Aku, sepotong kain panjang berwarna kuning kecoklatan.
sederhana dan biasa.
Sejak sore itu, aku mendampingi Banthe Kanthi kemanapun ia pergi.
Aku mendampinginya bergantian dengan temanku yang lain.
Jubah kuning kecoklatan yang sama denganku, tetapi sedikit lebih tua dariku.
aku senang.
Aku melihat banyak negara baru.
aku mengenal banyak orang.
aku mendengar banyak hal. yang baik dan buruk.
aku mengalami kejadian menyenangkan maupun memiriskan

Tahun berlalu.
Suatu hari aku berkunjung ke negara di Asia bernama Indonesia.
Banthe kembali mengenakan aku.
Hatiku gembira.
Setelah sekian hari, tiba-tiba ia berkata,"Tugasmu berubah sahabatku,"
sejak saat itu, aku tak pernah melihatnya.
Aku berkelana bersama para biksu muda.
Seperti disemua biara Budha, kami milik bersama. Siapa saja bisa mengenakan kami.
Aku kehilangan bikshu tua itu,
tapi aku tokh tetap senang dengan kegiatan dan tugas baruku.

Tahun kembali berlalu.
Tubuhku mulai tak secerah dulu.
serat-seratku tak sekuat dulu
dan suatu hari, seorang bikshu muda berkata, "Sudah saatnya tugasmu berubah,"
dan ia mengambilku.
aku cemas. mau diapakan lagi aku?
Bikshu muda itu mengambil gunting dan... mulai membagi-bagi tubuhku.
Aku sedih.
Tak lama aku sudah tersebar dimana-mana.
mulai dari lantai atas sampai bawah.
untuk mengelap kusen dan jendela, sampai mengangkat panci panas
dan diriku masih tergeletak di atas meja
dengan jahitan melintang dan membujur.
Tiba-tiba aku terkejut.
ada suara yang begitu ku ingat.
Saat ku toleh ke samping, Banthe Kanthi berdiri di sisiku.
"Ah, sahabatku, tugasmu berubah lagi ya," katanya lembut sambil mengangkatku.
berjalan dalam genggaman tangannya membuatku terharu.
Sampai tiba di depan balai doa sisi belakang.
Ia membungkuk pelan.
meletakkanku pelan
"Inilah pelayananmu yang sejati," pesannya.
detik berlalu penuh kesadaran.
Hilang semua takut dan sedihku.
Inilah tugasku yang baru. kataku pada diriku
tidak menjadi semakin hebat dan berjaya
tetapi semakin rendah dan biasa
tidak melayani sedikit orang
tapi dimanfaatkan semakin banyak orang.
dan Banthe tua itu, dalam kerentanannya terus mengingatku
seperti aku mengingat dia
karena segala sesuatu bertumbuh semakin dalam dan ke dalam.

*****

Kisah ini terinspirasi dari cerita Banthe Kanti yang tinggal di Vihara Kertarajasa terletak di Jalan Mojorejo no 40 Kota Batu, sekitar 20 menit perjalanan dari Kota Malang.
Beliau menceritakannya pada saya saat saya belajar meditasi vipassana di sana.
kisah yang mengingatkan saya pada makna sebuah pemberian diri yang utuh.


0 comments:

Post a Comment

be nice, be wise, be you

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More