Pages

Burning Heart

let God burning your heart and warmth you days.

Grace Dice of Life

everything is God's grace. Providentia Dei

Rain for Everyone

never walk alone, God always there like every rain

Fresh from God, fresh the whole day

always praise the Lord for He create colorful world.

SMILE: GOD loves you

one of the BEST grace from GOD is ability ti SMILE

Sunday, January 30, 2011

Badly Needing


A nun, badly needing to use the restroom, walked into a local Hooters.
The place was hopping with music and loud conversation and every once in a while ‘the lights would turn off.’
Each time the lights would go out, the place would erupt into cheers.
However, when the revelers saw the nun, the room went dead silent.
She walked up to the bartender, and asked, ‘May I please use the restroom?
The bartender replied, ‘OK, but I should warn you that there is a statue of a naked man in there wearing only a fig leaf.’
‘Well, in that case, I’ll just look the other way,’ said the nun.
So the bartender showed the nun to the back of the restaurant.
After a few minutes, she came back out, and the whole place stopped just long enough to give the nun a loud round of applause. !
She went to the bartender and said, ‘Sir, I don’t understand. Why did they applaud for me just because I went to the restroom?’
‘Well, now they know you’re one of us,’ said the bartender, ‘Would you like a drink?’
‘No thank you, but, I still don’t understand,’ said the puzzled nun.
‘You see,’ laughed the bartender, ‘every time someone lifts the fig leaf on that statue, the lights go out.
Now, how about that drink?’

Saturday, January 29, 2011

Siapa Yang Bayar?

Seorang pria terkena serangan jantung serius. Ia dibawa ke sebuah rumah sakit yang dikelola oleh sebuah yayasan kristiani. Dokter mengharuskannya menjalani operasi bypasas.
Setelah sembuh, seorang suster  mendatanginya dan menanyakan bagaimana ia akan membayar semua biaya perawatan. Ia ditanya: apakah ia memiliki asuransi kesehatan? ia menggeleng.
Suster kembali bertanya: apakah ia memiliki uang di tabungan atau bank. kembali bapak itu menggeleng.
akhirnya perawat itu bertanya, "Apakah bapak memiliki kerabat yang hisa menolong?"
Pria itupun menjawab, "saya hanya memiliki seorang saudara perempuan, tetapi ia tidak menikah. ia memilih menjadi seorang biarawati."
Suster pu mencoba menjelaskan, "Pak, para biarawati itu bukannya tidak menikah. mereka menikah dengan Tuhan,"
Mata pria itupun bersinar penuh harap dan menjawab, "Kalau begitu, tolong kuitansi tagihan dikirim ke ipar saya saja ya,"
********

Friday, January 28, 2011

Kemenangan Hidup

Debby and Esther

Menyadari diri melalui senyum dua keponakan yang cantik dan apa adanya.
Menyadari hidup dalam pribadi yang jauh dimata tapi begitu dekat seperti dalam tarikan napas
menyadari makna sebuah komunitas dan keluarga melalui senyum baru
kehadiran ia yang begitu muda dan penuh cinta
untuk hidup dan orang lain.

aku senang menatap wajah dua keponakanku ini
begitu biasa dan sederhana
menenangkan diri yang serba tergesa
kemenangan hidup adalah kedamaian.

Anugrah

Sejak beberapa hari yang lalu, aku ngobrol dengan beberapa anak yang mengalami tantangan dalam akademik. Ada anak dengan tantangan besar dan banyak, ada juga yang kecil-kecil saja tetapi kalau lalai bakal berakibat fatal.
Ternyata saat bicara, aku semakin menyadari diriku sendiri.
saat aku mendengar, aku coba mendengar dengan baik.
saat bicara, aku juga coba bicara dengan baik dan pilihan kata yang tepat.
alhasil, setelah pertemuan-pertemuan itu, aku merasa ada relasi yang terjalin dengan lebih baik.
Relasi ini tidak hanya antara aku dan sang anak,
tetapi antara aku dan diriku sendiri.
semua berproses dengan lebih baik lagi...

Pada akhirnya aku jadi semakin menyadari
bahwa menjadi seorang konselor sekolah merupakan anugerah tersendiri bagiku.

Thursday, January 27, 2011

Menjawab dengan Tepat!

Dalam pelajaran biologi, guru bertanya,
"Binatang apa yang dapat hidup di air dan di darat?"
"Katak Bu!" Jawab seorang siswa dengan cepat
"Lalu apa lagi?" tanya si ibu sambil tersenyum
"Katak-katak yang lain juga bisa bu!" cetus si anak lagi dengan semangat.
Bu Guru: ?+&**@@@@??

Wednesday, January 26, 2011

Keep UP!


Memang benar pepatah yang berkata:
"lebih mudah meraih dari pada mempertahakan"

Begini, aku termasuk tipe orang yang bekerja dengan perencanaan detail lalu pakai to do list.
ada saat-saat dimana perlu sedikit akrobatik sehingga beberapa rencana yang ada perlu bergeser,
atau hal yang semula tak ada maka perlu diadakan.
bahkan semula ada jadi perlu dibatalkan sama sekali.
Lelah tapi senang di ujung hari dengan segala pencapaian yang ada.

Nah, persoalannya, kadang segala hal berjalan begitu smooth seperti capucino float starbuck yang enak.
sehingga segala sesuatu bisa selesai bahkan masih ada sisa waktu.
saat itulah godaan untuk menurunkan semangat kerja mulai merayap ke punggung, naik ke bahu dan
ah... enaknya santai.
GUBRAK!!
waduh, buat memulainya lagi... untuk menyemangati diri dan kerja lagi jadi susah.
he..he..
sudah kepalang santai....

Untuk itu, aku selau juga berusaha menjaga jadwal-santai.
kalau tidak... wah repot deh..

Mengapa Air Tidak Mengalir?

Dalam sebuah pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, guru bertanya pada muridnya,
"Waktu Pak Guru membuka kran, ternyata air tidak mengalir. Mengapa?"
jawab murid dengan cepat,
"Mungkin Bapak belum membayar tagihan PAM!"
Guru: ???????

Tuesday, January 25, 2011

Kecelakaan

Pada suatu hari terjadi kecelakaan.
banyak orang berkerumun di sekitarnya sehingga lalulintas terganggu.
seorang wartawan yang kebetulan lewat, tertarik untuk mencaritahu tentang kecelakaan itu.
dengan akal muslihat, ia menyeruak ke keramaian itu sambil berkata,
"awas... menyingkirlah... minggir!... saya adalah ayah korban,"
setelah ia berhasil sampai ke tengah kerumunan, ia terkejut!
ternyata korban yang tergeletak adalah seekor kambing

Thursday, January 13, 2011

Kisah Sepotong Kain Kuning

Dengan senyum hangat di bibir, ia mengulurkan tangannya dan mengelusku.
jemarinya yang renta tetap membawa rasa hangat dan nyaman.
tangan yang dulu kuat dan meletakkan ku di sini.
ditempat ini.
di depan balai doa sisi belakang yang jarang dikunjungi
kecuali oleh mereka yang mencari pencerahan atau
yang sedang bertarung dengan kelekatan.
'Sobatku, ini tugas barumu." katamu dulu, penuh semangat.

Waktu berlalu.
setelah sekian musim ia kembali ada disini, bersamaku.
Akhirnya aa pun berdiri. Menghela napas sambil menatap jauh ke langit mendung.
"Sudah begitu lama ya," cetusnya pada butir hujan yang melayang turun seperti dewi kahyangan.
dibiarkannya tiap titik itu jatuh lembut di kulit wajahnya yang berlipat kecoklatan.
Lalu ia menunduk padaku.
"terima kasih," katanya hangat dan berlalu.
langkahnya masih tenang dan lambat. sesuai enam langkah samadi jalan yang sudah berurat akar dalam seluruh jalinan syaraf dan tulangnya.
Aku tersenyum.
Dia semakin tua tapi cintanya tetap muda.
Cintanya pada semua yang hidup dan yang mati menurut ukuran ilmu manusia.
Aku tersenyum dan menikmati masa tuaku juga.
"terima kasih,"bisikku
"terima kasih untuk tetap mengingatku."

****

Tibet. 1980
Bau dupa melayang hangat dalam ruang doa utama.
Banthe Kanthi melalui ruang itu tanpa menoleh. ia tahu tanpa mau tahu.
Sesampainya di pendopo penerima tamu, ia disambut oleh seorang lelaki separuh baya.
mereka saling melempar senyum hangat.
lelaki itu pun bersedekap tangan dan membungkuk takzim "Salam," ujarnya
Banthe Kanthi pun mengangguk lalu mempersilahkan lelaki itu naik ke pendopo.
Tak lama kemudian mereka berdua saling tukar kisah.
dalam suasana teduh dan ramah.
mentari mulai bergerak ke tengah dan lelaki itu pun meninggalkan pendopo
diiringi senyum biksu tua itu.
Sang Bikhsu pun berlalu.

"Bante" bisik seorang samanera (bikhsu muda) menghnetikan langkah bikshu tua itu.
"Kita dapat sumbangan jubah baru," lanjutnya.
Bante Kanthi mengangguk. Melintas wajah lelaki tadi. Banthe berharap semoga usaha lelaki itu dalam memperbaiki karmanya, bisa berlangsung baik dan lancar.
Banthe pun berjalan ke kamarnya yang kecil, sama dengan kamar semua bikshu.
dekat tikar tidurnya ada satu jubah baru.
jubah lamanya sudah diambil dan dipakai untuk yang lain.
"Selamat datang sahabatku," katanya padaku.
itulah kali pertama aku berjumpa dengannya.

Aku, sepotong kain panjang berwarna kuning kecoklatan.
sederhana dan biasa.
Sejak sore itu, aku mendampingi Banthe Kanthi kemanapun ia pergi.
Aku mendampinginya bergantian dengan temanku yang lain.
Jubah kuning kecoklatan yang sama denganku, tetapi sedikit lebih tua dariku.
aku senang.
Aku melihat banyak negara baru.
aku mengenal banyak orang.
aku mendengar banyak hal. yang baik dan buruk.
aku mengalami kejadian menyenangkan maupun memiriskan

Tahun berlalu.
Suatu hari aku berkunjung ke negara di Asia bernama Indonesia.
Banthe kembali mengenakan aku.
Hatiku gembira.
Setelah sekian hari, tiba-tiba ia berkata,"Tugasmu berubah sahabatku,"
sejak saat itu, aku tak pernah melihatnya.
Aku berkelana bersama para biksu muda.
Seperti disemua biara Budha, kami milik bersama. Siapa saja bisa mengenakan kami.
Aku kehilangan bikshu tua itu,
tapi aku tokh tetap senang dengan kegiatan dan tugas baruku.

Tahun kembali berlalu.
Tubuhku mulai tak secerah dulu.
serat-seratku tak sekuat dulu
dan suatu hari, seorang bikshu muda berkata, "Sudah saatnya tugasmu berubah,"
dan ia mengambilku.
aku cemas. mau diapakan lagi aku?
Bikshu muda itu mengambil gunting dan... mulai membagi-bagi tubuhku.
Aku sedih.
Tak lama aku sudah tersebar dimana-mana.
mulai dari lantai atas sampai bawah.
untuk mengelap kusen dan jendela, sampai mengangkat panci panas
dan diriku masih tergeletak di atas meja
dengan jahitan melintang dan membujur.
Tiba-tiba aku terkejut.
ada suara yang begitu ku ingat.
Saat ku toleh ke samping, Banthe Kanthi berdiri di sisiku.
"Ah, sahabatku, tugasmu berubah lagi ya," katanya lembut sambil mengangkatku.
berjalan dalam genggaman tangannya membuatku terharu.
Sampai tiba di depan balai doa sisi belakang.
Ia membungkuk pelan.
meletakkanku pelan
"Inilah pelayananmu yang sejati," pesannya.
detik berlalu penuh kesadaran.
Hilang semua takut dan sedihku.
Inilah tugasku yang baru. kataku pada diriku
tidak menjadi semakin hebat dan berjaya
tetapi semakin rendah dan biasa
tidak melayani sedikit orang
tapi dimanfaatkan semakin banyak orang.
dan Banthe tua itu, dalam kerentanannya terus mengingatku
seperti aku mengingat dia
karena segala sesuatu bertumbuh semakin dalam dan ke dalam.

*****

Kisah ini terinspirasi dari cerita Banthe Kanti yang tinggal di Vihara Kertarajasa terletak di Jalan Mojorejo no 40 Kota Batu, sekitar 20 menit perjalanan dari Kota Malang.
Beliau menceritakannya pada saya saat saya belajar meditasi vipassana di sana.
kisah yang mengingatkan saya pada makna sebuah pemberian diri yang utuh.


Dia dan Kenanganku

Litlle Leo: SMILE!!!

Kemarin seorang sahabatku datang berkunjung.
Setelah sekian tahun tak jumpa,
Dina tak berubah. tetap cantik seperti yang ku bayangkan
Chika, putri keduanya, berbeda.
Lebih dewasa.
Chika mengenakan blush on dan eye shadow pink.
wajahnya lembut.
Siapa sangka dulu ia adalah anak nakal yang suka tertawa?

Lalu Dina mulai bercerita.
Tentang Ine, anak sulungnya.
Tentang Chika, putri tengahnya
dan
tentang Leo si bungsu yang gempal dan lucu.

kenanganku bersama mereka ikut meluncur
bersama kisah dari bibir Dina.
dan bersama lembar-lembar foto yang ada.

"Kelas berapa Leo sekarang?" tanyaku
"Mestinya kelas 1 SMP". jawab Dina
Batinku gemetar.
ada yang tidak pas.
foto-foto yang muncul di layar laptop kebanyakan foto Leo
dan kata "mestinya" membuat skenario buruk muncul dikepalaku
apakah Leo tidak naik kelas?
apakah Leo sakit? tidak sekolah? atau....
tapi aku enggan bertanya
aku tidak mau mengubah suasana yang ada
tapi ketakutan itu merayap di punggung ku seperti seekor ular.
dan kisah pun berlanjut.
sampai akhirnya

"Grace, dan ini foto-foto Leo yang terakhir" kata Dina kering
sementara Chika mulai membuka folder foto dengan gambar Leo mengenakan jas
ia tidur di dalam peti.
"Dia sudah mendahului kita dan...."
kata-kata Dina seperti rentetan lagu satu nada yang sulit ku pahami
aku merasa semua sukmaku terbang sekaligus tenggelam
kilasan wajah Leo menampar-nampar ingatanku
selanjutnya aku mulai masuk dalam sebuah mimpi buruk di sore hari.
senyum menjadi aneh
tawa terasa dipaksakan
tangisan bergayut di tenggorokoan
pikiranku buntu
tapi tokh aku tetap harus menahan semua itu
berusaha tetap waras disaat aku memilih untuk gila.


tentu aku berharap bisa bertemu dengannya
satu kali saja
merasakan kehadirannya
tapi bahkan itu pun tak bisa

aku hanya bisa bersyukur bahwa
dia ada dalam hidupku
hidup sebagai sebuah kenangan indah, manis dan lucu
Dia yang ada dan
selalu ada dalam kenangaku.
"Never say Goodbye, just see you in Heaven.. soon..."

Leo, 24 February 2010 (RIP)

Monday, January 10, 2011

Kecewa

rasa kecewa bukan sesuatu yang baru bagiku
tapi saat mengalaminya kembali hal itu terasa biru
saat teman memintaku membantu
tetapi ada kelalaian
aduh sedih... sedih... sedih..
rasa bersalah

Tuesday, January 4, 2011

S.Elizabeth Ann dan B.Angela dr Foligno

 Hari ini adalah hari biasa setelah Penampakan Tuhan.
Gereja mengajak kita semua untuk ikut berbahagia bersama para suster dari Camelites Missionaries (CM-Kongregari Suster-suster Misionaries Karmelit) yang memperingati hari orang kudus mereka yaitu S.Elizabeth Anna Seton
Selain itu, ada Beata Angela dari Foligno yang diperingati oleh Keluarga besar Fransiskan.
Kedua orang kudus ini memiliki panggilan yang istimewa.


S.Elizabeth Anna Seton lahir dalam lingkungan  Gereja Episcopal. Usia 19 tahun menikah dan memiliki 5 anak. badai hidup menerpa mereka sehingga suami S.Elizabeth meninggal dalam sakit. Elizabeth lalu menjadi seorang Katolik dan mulai mendirikan berbagai karya sosial. Sampai akhirnya ia mendirikan sebuah komunitas relijius diluar biara. Ia berdevosi secara khusus pada Sakramen Maha Kudus dan Bunda Maria. Ia meninggal pada usia 46 karena tuberkolosis.



S. Elizabeth Anna Bayley Seton
Elizabeth Ann Seton was born on August 28, 1774 to Richard Bayley and Catherine Charlton of New York City.[1] She was raised in the Episcopal Church. Her mother, daughter of an Episcopal priest, died when Elizabeth was three. At the age of nineteen, she married William Magee Seton, a wealthy businessman. Five children were born to the marriage, Anna Maria, William, Richard, Catherine, and Rebecca.
Her home in Manhattan, New York City, was located at the site on which church now stands in her honor, with the formerly matching building at the right (7 State Street) forming part of the shrine
Her husband's business lost several ships at sea and the family ended up bankrupt. Soon after, her husband became ill and his doctors sent him to Italy (Livorno) for the warmer climate, with Elizabeth and their eldest daughter accompanying him. In Italy, they were held in quarantine, during which time her husband died. She spent time with a wealthy family where she was exposed to Catholicism. Two years later, after her return to the United States, she converted to Roman Catholicism, on March 14, 1805 and was received into the Church by the pastor of St. Peter's Church, the only Catholic church open in the city at that time due to the recent lifting of anti-Catholic laws under the new Republic. A year later, she was confirmed by the first bishop of Baltimore, John Carroll.
To support her children, she started a hospital, but it failed due to the anti-Catholic sentiment of the day.[citation needed] By chance, around this time Mrs. Seton met a visiting priest, the Abbé Louis Dubourg, S.S., who was a member of the French emigré community of Sulpician Fathers. The priests had taken refuge in the United States from the religious persecution of the Reign of Terror in France, and were in the process of establishing the first Catholic seminary for the United States, in keeping with the goals of their Order. For several years, Dubourg had envisioned a religious school to meet the educational needs of the small Catholic community in the nation.
In 1809, after some trying and difficult years, Elizabeth accepted the invitation of support the Sulpicians made to her and moved to Emmitsburg, Maryland. A year later she established the Saint Joseph's Academy and Free School, a school dedicated to the education of Catholic girls, due to the financial support of Samuel Sutherland Cooper. He was a wealthy convert and seminarian at the newly established Mount St. Mary's College and Seminary, begun by the Abbé (later Bishop) John Dubois, S.S., and the Sulpicians.
Eventually, Elizabeth was able to establish a religious community in Emmitsburg, Maryland dedicated to the care of the children of the poor. It was the first religious community of non-cloistered Religious Sisters to be founded in the United States, and its school was the first free Catholic school in America. The order was called the Sisters of Charity of St. Joseph.
The remainder of Elizabeth's life was spent in leading and developing the new congregation. Today, six separate religious communities trace their roots to the humble beginnings of the Sisters of Charity in Emmitsburg, Maryland. In addition to the original community of Sisters at Emmitsburg (though now part of an older institute), they are based in New York City, Cincinnati, Ohio, Halifax, N.S., Convent Station, New Jersey and Greensburg, Pennsylvania.
St. Joseph's Academy eventually developed into Saint Joseph College, which closed in 1973. The Federal Emergency Management Agency (FEMA) purchased the buildings and land of Saint Joseph College in 1979 and it is now the site of the National Emergency Training Center (NETC) housing the Emergency Management Institute, the United States Fire Administration and the National Fire Academy.
Elizabeth was described as a charming and cultured lady. Her connections to New York society and the accompanying social pressures to leave the new life she had created for herself did not deter her from embracing her religious vocation and charitable mission. She established St. Joseph's Academy and Free School in order to educate young girls to live by religious values. The greatest difficulties she faced were actually internal, stemming from misunderstandings, interpersonal conflicts, and the deaths of two daughters, other loved ones, and young sisters in community. She died of tuberculosis at the age of 46 in 1821 in Emmitsburg, Maryland. Today, her remains are entombed in the Basilica that bears her name: the Basilica of the National Shrine of Saint Elizabeth Ann Seton.
Dedicated to following the will of God, Elizabeth Ann had a deep devotion to the Eucharist, Sacred Scripture and the Virgin Mary. The 23rd Psalm was her favorite prayer throughout her life. She was a woman of prayer and service who embraced the apostolic spirituality of Saint Louise de Marillac and Saint Vincent de Paul. It had been her original intention—as well as of the Sulpician Fathers who guided them—to join the Daughters of Charity founded by these saints, but the embargo of France due to the Napoleonic Wars prevented this connection. It was only decades later, in 1850, that the Emmitsburg community took the steps to merge with the Daughters, and become their American branch, as their foundress had envisioned.
"We must pray literally without ceasing—without ceasing—in every occurrence and employment of our lives . . . that prayer of the heart which is independent of place or situation, or which is rather a habit of lifting up the heart to God as in a constant communication with Him." Elizabeth Ann Seton.


Beata Angela Blessed the Soul
In the plaid of great mystics which stud the history of the church, Angela shines forth with a unique splendor because of the intensity of her experience, the depth of her concepts, and the bold vividness of her expression". The external history of this woman, a lay woman, mother, widow and literary figure (she was later declared Mistress of theologians) is limited lo very little, and not entirely reliable information. She was born in Foligno around 1248, twenty-two years after the death of St. Francis of Assisi. Thanks lo the lands and palaces her family owned in and outside the city walls, she lived her youth in a rich and comfortable atmosphere sustained by the affection of her mother who adored her. We do not know about her family or her father and from this it can be surmised that she was orphaned at an early age. Lella (as she was called familiarly at home) was a beautiful, intelligent, willful and rich girl, an explosive combination for a medieval woman or for a woman in our times. She herself would confess this later: "You should know, that for in whole lifetime I sought in every way how) I could be adored and honored. This thirst for adulation and her incessant search for life vanities soon drew her away from practicing religion and perhaps even from faith. Not even her marriage at an early age lo a local country gentleman and the children to who in she gave birth soon after succeeded in bringing her back lo the straight and narrow path. Despite the bad habits that were perhaps overly consolidated, Angela succeeded nonetheless in finding a positive answer to the failure of her life thanks also lo the extraordinary events that took place in those years in Foligno (the dreadful earthquakes of 1279 and 1282, a disastrous flood, and the war with Perugia) which deeply disturbed her fellow-citizens, some of whom felt the impelling need for a stricter behavior in life. Angela was especially influenced by the truly extraordinary example of Pietro Crisci, called 'Pietruccio', her fellow citizen, who sold all his huge patrimony and distributed it to the poor in order lo lead a life of strict ascesis and prayer. She, who initially ridiculed him, was later struck by his spiritual serenity and felt attracted to imitate him. Presumably in 1285, after a period of mundane and carefree life, she under-went a profound change which would gradually lead her lo a very lofty spiritual perfection. Being deeply attracted by Francis of Assisi's ideal, in 1291 she joined the Third Order, aided by the Franciscan friars of the nearby convent and especially by one of them, Friar A(rnaldo), who was also her cousin. He heard her first confession which marked the beginning of her new life, he again led her along the way of perfection and recorded her visions in a book. Angela died in 1309 comforted by many disciples for whom years beforehand she had instituted a "Cenacle" of spiritual life and social action. Her body is venerated in the church of St. Francis in Foligno.

Sunday, January 2, 2011

Ask and Find Out

Something make me feeling uneasy
when I have to work as a Helpers at Chapel
the work is not so hard but yet I don't like it.

Today, something happen.
I ask GOD to direct me.
He blend my heart, my mind and my will
and i have to say "yes" to HIM too
otherwise it won't worked out.

Then things getting easy.
i can accept what i have to do
and i found it was not that bad

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More